Kamis, 24 Juli 2008

TERSENYUM ALA BAPAKKOE

Dipinggiran sebuah kota distrik nan indah di Sumatra Barat, sekelilingnya terhampar sawah-sawah yang menguning, Solok, terkenal dengan daerah penghasil beras yang rasanya enak, nagarinya di kelilingi oleh bukit barisan. Tidak jauh dari sana berdiri dengan kokoh sebuah gunung berapi aktif dikenal dengan nama gunung Talang, Waktu itu 30-an tahun yang lalu kisah ini kembali mencoba mengingatkan koe tentang cara bagaimana seorang Bapak mencoba memberikan makna tentang kehidupan.
Akoe anak tertua dari enam bersaudara, semuanya berjenis kelamin laki-laki, satoe orang dari adikkoe kembar tapi oleh Allah SWT salah satu dari si kembar kembali dipanggil saat dia lahir dari rahim Ibukoe. Jadilah kami Pendowo Limo seperti kisah Arjuna dan saudara mereka. Bapak dan Ibukoe berprofesi sebagai seorang guru pada sekolah menengah atas keguruan agama. Kami tinggal dipinggiran ibukota provinsi yang merupakan juga kota kelahiran koe, kala itu lingkungan tempat kami bermukim rumahnya terbuat dari kayu beratapkan seng, seperti rumah kebanyakan yang terlihat di ranah Minang. Akoe bersekolah di sebuah sekolah menengah tingkat pertama yang ternama di kota kelahirankoe.
Yang sangat menyenangkan bagikoe dan teman-teman sebayakoe juga bagi kaum urban pada umumnya adalah kala liburan sekolah tiba. Hari –hari libur selalu akoe tunggu-tunggu karena biasanya kami melewatinya di kampoeng tempat Ayah Bunda koe di lahirkan. Kami biasanya mengunjungi kerabat kedua orangtua koe, nenek-nenek koe, kebetulan kedua kakek koe telah berpulang, kakek koe dari Ibu berpulang saat beliau masih muda sewaktu penjajahan Belanda sehingga beliau di makamkan di makam pahlawan yang terdapat di nagari kelahiran beliau. Kakek koe dari bapak meninggal saat akoe kelas dua sd, beliau terkenal dengan ilmu kanuragannya kata orang-orang yang mengenal beliau, sempat akoe dan kakek bertemu beberapakali.
Saat itu di bulan Ramadhan, kami sekeluarga pulang kekampung, biasanya kami menginap dirumah nenek dari Bapak setiap liburan, ini agak aneh kedengarannya umumnya berkumpulnya di rumah nenek dari Ibu (budaya Minang), sampai saat ini saya belum menemukan alasannya. Biasanya akoe dan adik yang nomor dua pulang lebih dulu dan mendekati hari lebaran idul fitri baru kedua orang tua koe dan ketiga adik yang lain menyusul kami.
Sore menjelang waktu berbuka datang kami semua berkumpul menunggu bedug maghrib di tabuh dari surau yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah nenek koe. Hidangan berbuka didepan kami sudah tersedia ada gulai ikan ameh, goreng ikan mujair balado , sayur cubadak/nangka tak lupa juga kolak kesukaan keluarga kami, biasanya yang memasak adalah ibu koe emang beliau terkenal jago memasak. Dan juga ada pisang rebus khas nagari tersebut, terbuat dari pisang batu yang warnanya coklat kemerahan rasanya lezat sekali . Munculnya hanya diwaktu bulan puasa saja, sorenya sesudah mandi sore dipancuran surau dan usai menunaikan ibadah shalat ashar Bapak koe saat akan pulang mampir membelinya di pinggir jalan lintas Sumatra, penjual jajanan terlihat berjejer menggelar dagangannya sampai bedug maghrib, kemudian orang – orang akan berlarian ke rumah masing-masing untuk berbuka saat bedug di tabuh bertalu-talu oleh pemuda-pemuda desa.
Hari terakhir Ramadhan, Bapak koe mendongeng ketika semuanya telah berkumpul didepan hidangan, para lelaki bersila dan perempuan duduk bersimpuh mendengarkan diatas tikar rotan yang di beli nenek khusus dari nagari Silungkang. Cerita di awali suatu malam setelah shalat isya dan saat sedang makan malam seorang ayah berniat mau berniaga kekota dari nagari tempat mereka bermukim, biasanya pedagang membawa dagangannya selama hampir sebulan kemudian sehari menjelang hari raya mereka kembali ke tengah keluarganya. Laki-laki tersebut malam menjelang keberangkatannya mengumpulkan semua anggota keluarganya dan mengutarakan niatnya untuk berjualan ke kota.
Ketika semua keluarga telah berkumpul maka sang ayah menanyakan keinginan anak-anak dan istrinya, anak-anak koe nanti jika ayah pulang, dari kota setelah berdagang kamu mau di bawakan apa? Yang namanya anak – anak, semuanya berebutan menyampaikan permintaannya kepada sang ayah, ayah, akoe mau dibelikan baju baru, yang satunya berkata akoe ingin sepatu karena sepatu koe sudah tidak laik untuk bersanding dengan punya teman – teman yang lain. Yang satu lagi aku ingin dibelikan gelang, anaknya yang paling cantik dan disayanginya berucap; ayah akoe mau dibelikan cincin dan tas tangan. Terakhir istrinya meminta pada sang suami, pa, boleh ya aku minta dibelikan mukenah dan baju kerudung, kan? Lebaran, keluarga dan kerabat berkumpul semua dirumah kita, rasanya punya bunda sudah usang dan cabik-cabik pula. Sang ayah dimalam itu menyepakati akan membelikan dan membawakan semua keinginan anak-anak dan istri tercintanya dan seterusnya dilanjutkan berdoa bersama agar sang ayah sukses dalam berdagang.
Si ayah ke esokan hari berangkat menyiapkan barang yang akan diniagakan, dan dengan bis yang paling pagi berangkatlah menuju ke kota. Di kota dia menyewa sebuah kamar untuk tidur dan sekaligus sebagai gudang barang dagangannya. Awalnya barang yang dia niagakan laku terjual dan terkembanglah senyuman di bibirnya karena dia akan bisa memberikan apa-apa yang diminta oleh anak istrinya, tetapi seiring dengan waktu terjadilah krisis ekonomi yang berakibat bisnisnya tidak berjalan sesuai dengan harapan dan prediksinya disamping itu juga ada yang menyesakkan dadanya karena ditipu oleh pelanggan-pelanggannya sehingga hanya tersisa sebagian uang untuk di bawa pulang kembali ke kampoeng. Semalaman dia berpikir mencari jawaban bagaimana dia mampu untuk membelikan permintaan-permintaan anak istrinya, akhirnya dengan hati yang ikhlas ditengah malam dia berwudhu dan melaksanakan shalat malam dilanjutkan dengan berdoa. Karena kecapaian setelah makan sahur dan menunaikan shalat shubuh sang ayah tertidur dengan sangat pulas.
Dia terbangun ketika suara orang berlalu lalang ramai melintasi kamarnya, sesaat dia mengusap wajahnya dan dia lalu tersenyum, bergegas dia mandi, pamit dengan empunya rumah. Lalu dia bersiul-siul kecil menuju pasar dibelinya sekarung cabe (lado, Minang, red) selanjutnya menuju ke terminal bis. Di waktu ashar bis yang dia tumpangi sampai ke nagari tempat anak istrinya bermukim, dia minta pada sang kernet untuk berhenti di halaman warung dekat rumahnya, kiri , kiri, stop, ambo turun disiko, seterusnya menurunkan karung bawaannya. Bergegaslah dia menemui anak dan istrinya dengan senyum terkembang dibibirnya, anak istri pun melihat bapak dan suami membawa karung tersenyum lebar didepan rumah menyusul sang Bapak.
Istirahatlah sang Bapak setelah melewati perjalanan yang melelahkan dan usai bertegur sapa dan bersalam – salaman dengan keluarga, setelah merasa segar beranjaklah dia ke kamar mandi. Seterusnya usai bersalin dengan pakaian yang bersih berkumpullah dia dengan keluarga untuk berbuka bersama di akhir Ramadhan. Setelah menunaikan shalat isya berjamaah dia panggillah anak istrinya dan di bawanya juga sebuah karung yang masih terikat ujungnya. Lalu mulailah dia menanyakan, anak-anak kamu minta apa sama bapak? Anak yang bungsu dan paling cantik lansung bicara, bapak masih ingat kan permintaan leli, dulu leli mintanya kan cincin dan tas tangan, pak? Yah jawab bapaknya “alah ado” (sudah ada) dalam karuang, ha buyuang kamu dulu maunya sepatu ya, iya pak , akoe ingin seperti anak-anak yang lain seperti si Jon sepatunya rancak, yach alah ado dalam karuang yuang. Ida, kamu dulu minta nya apa ya? Ida maunya gelang kan, pak? Oh iya maklum rasa lelah masih taraso dek apak, ndak apo-apo, alah ado dalam karuang. Pudin waang (kamu) minta baju dulu yo, alah ado dalam karuang. Mande (Ibu) leli dulu mintanya apa ya ? Pa, masa lupa sich jangan-jangan papa ada apanya di kota sampai lupa dengan maunya Mama. Pa, mama tidak minta yang macam-macam kok cuma pingin baju kurung dan mukenah, hooooh sambil senyum bapak tersebut jawab “alah ado” dalam karuang.
Ibu koe kemudian menyendokkan nasi kedalam piring-piring kami semua, nenek menyiapkan mangkok dengan menyendokkan kolak kedalamnya satu persatu dan aku membantu menuangkan air kedalam semua gelas-gelas. Bapak koe sebentar berhenti mendongeng untuk mengambil nafas, adik-adik koe pada minta sama bapak untuk meneruskan ceritanya karena tangguang katanya kelihatannya hampir selesai, sudah penasaran mereka untuk mendengarkan akhir dari dongeng menjelang berbuka.
Bapak kemudian meneruskan ceritanya, ya semua pesanan anak-anak dan istrinya pedagang tersebut “alah ado” tapi dengan suara pelan antara terdengar dan tidak sehingga kedengarannya ketika bapak mengulang kembali “alah ado” kedengarannya (LADO) dalam karung. Sehabis permintaan terakhir dari istrinya, dengan berebutan, karungnya di buka paksa anak-anak termasuk juga istrinya dan ternyata dalam karung semua isinya hanyalah cabe keriting merah, orang Padang menyebutnya dengan “LADO”. Saat bersamaan terdengarlah “BEDUG” di pukul bertalu-talu, sayup-sayup sambil ditengahi oleh bunyi tiang listrik di pukul beramai = ramai oleh anak-anak pertanda waktu berbuka dan berakhirnya Ramadhan. Kami Pandowo Limo lansung rebutan juga mengambil mangkok kolak, lalu dengan lahap menyantap sampai ludes dan adik-adik yang kelaparan lansung makan nasi dengan ikan mujair goreng balado, sedaaaaaaaaaap.

Tidak ada komentar: